Oleh: kareumbi | 24 Desember 2016

Info Spesies Invasif di TBMK: Harendong Bulu

Clidemia hirta (L.) D. Don

Nama daerah: Sunda – Harendong bulu : Sumatera – Senduduk bulu
Nama umum: Koster’s curse, Soapbush

harendong-bulu

Clidemia hirta di area kandang umbar rusa 8HA (Dec 2016)

Awalnya saya tidak banyak memberikan perhatian terhadap tanaman ini. Terlihat sebagai tanaman yang biasa dan banyak terdapat di sekitar basecamp Taman Buru Masigit Kareumbi (TBMK). Terna perdu dengan tinggi kira-kira 1 meteran, beberapa ada yang mencapai 2 meter, sering kami jumpai di pinggir-pinggir jalan setapak baik di bawah tegakan maupun daerah terbuka.
Perhatian lebih baru dilakukan ketika mengamati lebih dekat habitat rusa di area kandang umbar 8 hektar. Saat ini area dibawah tegakan batang Kaliandra (Calliandra callothrysus) yang sudah mati, telah didominasi hanya oleh 2 spesies yang tidak memiliki manfaat sebagai pakan rusa. Kedua jenis tumbuhan dimaksud adalah Teklan (Eupatorium riparium REG) dan Clidemia hirta alias Harendong bulu.

Seingat saya pada beberapa waktu kebelakang, sebaran Harendong bulu khususnya di area kandang 8 hektar tidak semasif sekarang. Mungkin ada kaitannya dengan curah hujan yang tinggi di tahun 2016. Mungkin juga karena dulu naungan dari kaliandra masih ada sedangkan sekarang hampir seluruh kaliandra tua tersebut mati akibat kulit batang (dan tentu daun) dimakan oleh rusa. Perubahan ekosistem di dalam area terpagar ini sangat menarik untuk diamati, karena hanya dalam jangka waktu 2 tahun setelah rusa dilepas liar di area ini banyak vegetasi yang disukai rusa hilang, dan tanaman yang tidak disukai oleh rusa berkembang dengan pesat.

Perhatian harus mulai diberikan karena dominasi tanaman beberapa tumbuhan telah menurunkan daya dukung area kandang umbar 8HA dengan sangat drastis.  Nyaris tidak ada lagi tumbuhan yang bisa dimakan atau disukai oleh rusa. Pertanyaan dasar, bagaimana cara mengendalikan tanaman ini? dengan ekonomis dan tetap memperhatikan aspek lingkungan tentunya. Sebelum bisa mengendalikannya, tentu perlu kita mengetahui lebih dahulu apa itu Harendong bulu. Artikel ini tentu saja tidak akan menjawab tuntas pertanyaan diatas namun lebih merupakan upaya mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi di lapangan.

Literatur pertama yang saya buka adalah buku K. Heyne, yang sudah di terjemahkan ke bahasa Indonesia berjudul Tumbuhan Berguna Indonesia. Hal 1537.

clidemia-hirta

Keterangan mengenai Clidemia hirta dari buku Heyne

Ternyata si harendong ini adalah spesies alien yang berasal dari luar negeri. Nama yang begitu nyunda tapi ternyata asalnya dari Amerika Selatan. Tidak banyak yang tertulis di buku Heyne, tampaknya juga mencerminkan tingkat ketertarikan beliau terhadap tumbuhan ini. Googling lebih lanjut dan ternyata cukup banyak literatur tentang C. hirta. Salah satu yang menarik adalah tulisan tentang manfaat ekstrak daun harendong bulu untuk menekan pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum. Hasil penelusuran lebih lanjut, ternyata infeksi jamur ini yang menyebabkan munculnya penyakit kulit yang secara medis dikenal dengan nama Tinea Pedis atau Athlete’s foot. Dalam bahasa sunda dikenal sebagai Rorombeheun. Manfaat lain adalah buah matangnya yang bisa dimakan dan konon rasanya manis-sepat-gurih dan mengandung Vitamin C serta Beta Karoten. Daftar manfaat lainnya cukup panjang, walaupun nampaknya belum didukung penelitian yang mendalam. Diantaranya yang dapat ditemukan tersebar dalam berbagai website berbahasa Indonesia adalah untuk pencuci luka, menghentikan pendarahan pada luka sayat, keputihan, disentri, sariawan, bisul dan diare.

Kutukan Koster

Introduksi flora dan fauna ke luar wilayah jelajah alamiahnya berkontribusi terhadap kondisi biota dunia yang semakin homogen. Meskipun invasi biologis adalah sebuah proses alamiah dan penyebaran tumbuhan maupun satwa melintasi hambatan geografis akan selalu terjadi (Sauer 1988), manusia secara dramatis telah mempercepat proses tersebut jauh diatas kemampuan penyebaran organisme tersebut secara alamiah. Dari sekian yang sudah diintroduksi, banyak spesies telah menetap, mengalami proses naturalisasi dan bahkan menyebar dengan cepat di antara komunitas dan ekosistem sehingga menyebabkan kerugian pada spesies asli (Gordon 1998, Holway 1998, Parker et al. 1999, Mack et al. 2000, Alvarez and Cushman 2002 pada DeWalt 2003).

Alkisah, tanaman ini mendapatkan nama Koster Curse (Kutukan Koster) karena seorang petani bernama Köster telah secara tidak sengaja menyebarkan C. hirta ke Fiji ketika dia membawa bibit kopi dari Amerika Selatan (mungkin Guyana) pada sekitar tahun 1880 dan 1886. Nah, di Fiji inilah C. hirta menyebar dan menjadi gulma yang menekan pertumbuhan tanaman asli. Catatan paling awal mengenai hal ini nampaknya dituliskan pada 1906 oleh Frederick Muir, seorang entomologis dari Asosiasi Petani Tebu Hawaii. Saat perjalanannya ke Pasifik Selatan, Australia dan Kepulauan Melanesia untuk mencari agen pengendali biologis untuk hama tebu, Muir dalam laporannya menuliskan mengenai Clidemia hirta yang terkenal sebagai gulma invasif di pulau Viti Levu (pulau terbesar di Fiji) dan disebutkan bahwa tanaman ini dinamakan “Koester’s Curse” (Muir, 1906:5 pada Evenhuis, 2014). Sejak saat itulah tumbuhan ini secara umum dikenal sebagai Koster Curse tanpa ada orang yang peduli asal nama tersebut atau berusaha menemukan kebenaran 2. Kisah lengkap sekaligus argumen bahwa pemberian nama tersebut telah salah menempatkan Mr. Köster sebagai kambing hitam atas menyebarnya tanaman C. hirta dapat dilihat pada jurnal Evenhuis, 2014.

Invasif

Clidemia hirta dewasa dapat menghasilkan lebih dari 500 buah berry per tahun. Setiap buah berry berisi lebih dari 100 butir biji berukuran sangat kecil (0.5 mm). Setelah jatuh dari pohon, biji ini tetap viable (mampu tumbuh) selama lebih dari 4 tahun. Di Hawaii, yang dicatat pertama kali pada 1941, penyebaran jarak jauh juga terjadi karena campur tangan manusia. Biji bisa terbawa oleh sepatu atau roda kendaraan untuk kemudian disebarluaskan kembali secara lokal oleh burung ataupun babi hutan.

Dalam Ismaini, 2016 disebutkan bahwa ekstrak daun C. hirta pada konsentrasi 60% mengurangi perkecambahan biji Impatiens platypetala sampai 63,3% dan menghambat pertumbuhan batang serta akar I. platypetala sampai 0,52 cm. I. platypetala sendiri di TBMK dikenal sebagai Pacar tere dan merupakan salah satu kesukaan rusa dan kijang. Di area kandang umbar 8HA dulunya banyak terdapat pacar tere saat ini bisa dikatakan sudah punah.

C. hirta ditempat asalnya dilaporkan bukan merupakan spesies yang invasif, mungkin karena adanya predator alamiah atau terjadinya persaingan alami dengan tumbuhan yang lain. Tapi di daerah yang menjadi wilayah introduksi, C. hirta telah menjadi gulma yang berat dan terutama di wilayah kepulauan oceanic dan wilayah daerah tropis, keberadaan tumbuhan ini dipandang sebagai ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Di hutan sekunder Tanzania, dilaporkan C. hirta telah menekan pertumbuhan semua tanaman rendah asli. Tumbuhan ini juga disebut memiliki potensi untuk mendorong beberapa spesies asli Hawai’i menuju kepunahan.

Selain ancaman terhadap keanekaragaman, C. hirta dibenci di Hawai’i karena pertumbuhannya yang cepat. Menyebar sepanjang jalan setapak dan pinggiran jalan, meningkatkan biaya pemeliharaan dan menurunkan nilai estetika, edukasi dan rekreasional dari kawasan. Bahkan di Australia, memasukkan tanaman ini dapat dikenakan denda AU$60.000 1.

Gangguan terhadap tanah menjadi elemen kunci berkembangnya populasi C. hirta. Gangguan ini dapat berasal dari kebakaran hutan, longsor, badai maupun bentuk lain termasuk perilaku babi hutan yang sering membongkar tanah untuk mencari makanan7. Di TBMK gangguan dari babi hutan ini sering terjadi.

Sebaran di TBMK

Sebaran Clidemia hirta di Cluster buru 1 dan 2, TBMK (survey pendataan daya dukung rusa, AMW Elka-Cantigi 2014)

Dari buku laporan ekspedisi pendataan TBMK oleh anggota muda Wanadri angkatan Elka – Cantigi, dapat disampaikan bahwa Clidemia hirta telah menyebar di berbagai lokasi survey yaitu Cluster 1 dan Cluster 2 buru. Baik itu di puncakan, lembahan, sadelan maupun lerengan. Diketahui bahwa dari 35 titik sampling, C. hirta ditemukan di 13 titik. Namun di semua titik, jumlahnya dilaporkan tidak mendominasi. Kemungkinan bahwa titik survey merupakan lokasi yang memiliki tutupan kanopi sehingga kurang mendapat sinar matahari.

Dari laporan tersebut juga dapat dianalisa bahwa tidak ditemukan C. hirta di lokasi rawa-rawa (Gamlok dan Cileuleuy) sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa C. hirta tidak mampu hidup dalam kondisi tergenang atau macak-macak.

Kontrol

Upaya manusia untuk mengendalikan (atau memusnahkan) C. hirta sudah berlangsung begitu lama. Beberapa bisa dibilang berhasil namun di banyak tempat, termasuk di Indonesia secara umum, bahkan belum cukup perhatian diberikan terhadap ancaman tumbuhan invasif ini.

Terdapat banyak cara pengendalian baik secara kultural, biologi maupun kimia.

Kultural

Mencabuti tumbuhan secara manual ditambah suplementasi herbisida dilaporkan cukup efektif. Namun hanya berhasil secara temporer. Mungkin disebabkan setelah dicabuti, lahan tidak ditanami, di seeding atau di olah lebih lanjut. C. hirta memiliki seed bank yang besar dan kemampuan untuk menumbuhkan akar dari daun yang gugur di area hutan (Smith, 1992).

Di Hawai’i upaya mencabuti secara manual akan gagal apabila dilakukan setelah munculnya buah. Cara ini juga sudah banyak dilakukan oleh kelompok sukarelawan. Pengendalian yang efektif akan didapat apabila cara manual dilakukan setidaknya setahun sekali selama 10 tahun. Tercatat hanya ada dua kegiatan pengendalian yang berhasil, Kamakou (Moloka’i) dan Pu’u Kukui trail (Maui)7.

Penggembalaan juga nampaknya tidak memungkinkan karena C. hirta tidak disukai baik oleh rusa maupun oleh domba/kambing.
Belum ditemukan literatur tentang penggunaan api untuk mengendalikan tumbuhan ini, namun disebutkan bahwa setelah area terbakar, dalam waktu yang cepat akan tumbuh kecambah baru dan dalam waktu 2 tahun, populasi sudah kembali melimpah.

Biologi

Liothrips urichi adalah serangga yang digunakan sebagai agen pengendali biologis untuk C. hirta. Mulai diterapkan di Fiji pada tahun 1930 dan kemudian digunakan juga di Hawai’i pada 1953. Hanya dalam waktu dua bulan setelah dilepas, serangga ini mulai melakukan proses reproduksi dan menggunakan C. hirta sebagai inang dan tempat hidup. L. urichi memberikan dampak yang serius terhadap pertumbuhan C. hirta pada daerah yang terbuka dan mendapat sinar matahari penuh. Sedangkan pada area yang teduh baik itu dibawah kanopi maupun sering terdapat tutupan awan, L. urichi dilaporkan tidak efektif 5.

Pengendalian melalui agen mycoherbisida (herbisida berbasis fungi) yang mengandung Colletotrichum gloeosporioides f.sp. clidemiae sebagai bahan aktif dilaporkan oleh Norman dan Trujillo (1995) efektif menghadapi C. hirta 5.

Selain itu Nakahara et al. (1992) mengungkap setidaknya ada 5 spesies musuh alami Clidemia di tempat aslinya di Trinidad yang berpotensi menjadi biokontrol. Walaupun demikian, penggunaan agen biologi sebagai pengendali tentunya memerlukan pertimbangan yang matang 4.

Kimia

Menurut Mune dan Parham (1967), belum ada bahan kimia yang efektif untuk mengendalikan C. hirta. Walaupun demikian, Teoh et al. (1982) melaporkan bahwa C. hirta dapat dibasmi dengan aplikasi 2,4,5-T, campuran 2,4-D dan 2,4,5-T atau oleh triclopyr 5.

Harapan

Pemanfaatan C. hirta sebagai bioherbisida maupun bahan baku kompos di TBMK agaknya perlu dicoba. Pengomposan dapat memberikan alternatif solusi untuk mengurangi peyebaran sekaligus membuka peluang lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
Selain itu manfaat medisnya menarik dielaborasi lebih lanjut untuk melihat kemungkinan pengolahan dalam skala yang lebih ekonomis.
Sejauh ini, untuk kasus pada grazing area di TBMK, pengendalian secara mekanis yang diikuti seeding tumbuhan penutup tanah (cover crop) ataupun penanaman rumput nampaknya masih merupakan alternatif yang paling memungkinkan dan ramah lingkungan untuk diterapkan sekaligus sejalan dengan upaya pemulihan populasi rusa. Tentu saja pencabutan secara manual perlu dilakukan secara berkelanjutan.

Referensi

  1. Wikipedia: Clidemia hirta
  2. Evenhuis. 2014. “Koster’s Curse”: mistaken blame in the common name for the invasive melastome, Clidemia hirta?
  3. Ismaini. 2016. Pengaruh alelopati tumbuhan invasif (Clidemia hirta) terhadap germinasi biji tumbuhan asli (Impatiens platypetala)
  4. Conant. ?. Classical biological control of Clidemia hirta (Melastomataceae) in Hawai’i using multiple strategies.
  5. Crop Protection Compendium – Clidemia hirta (L.) D. Don, diakses pada 24 Desember 2016
  6. Anggota Muda Wanadri Elang Kabut – Cantigi. 2014. Laporan Ekspedisi Pendataan Taman Buru Masigit Kareumbi Buku II. Pendataan Potensi Daya Dukung Habitat Rusa Jawa (Cervus timorensis) di Kawasan Konservasi Taman Buru Masigit Kareumbi.
  7. Global Invasive Species Database (IUCNGISD.ORG), diakses 24 Desember 2016.
doc rev 02. echo at tbmk dot org.

Tanggapan

  1. […] ini dibarengi juga dengan menghilangkan (eradikasi) gulma invasif (dan eksotis) yang lain yaitu Harendong bulu (Clidemia hirta) dan juga sedikit Salihara (Lantana camara) dan Ki Rinyuh (Eupatorium odoratum). Walaupun baik […]

  2. […] dibabat dan dicabut tetap kembali bertumbuh, beberapa literatur bahkan menyebutkan perlu waktu nyaris 10 tahun untuk dapat membersihkan gulma tersebut secara […]


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Kategori

%d blogger menyukai ini: